Acara Pelantikan Teman-teman Halteng—Sebuah Catatan untuk Kita-Generasi

Di Tamansari, tepat di gedung Aula UNISBA, tempat dilaksakannya kegiatan organisasi Ikatan Pelajar Mahasiswa Halmahera Tengah (IPM-HALTENG) yakni Pelantikan Pengurus. Acara dihadiri oleh berbagai Organisasi seperti Himpunan Pelajar Mahasiswa Maluku Utara (HIPMMU), Ikatan Pelajar Mahasiswa Muslim Maluku (IMMM), Ikatan Pelajar Mahsiswa Pulau Buru (IPMPB), dan Ikatan Pelajar Mahsiswa Halmahera Timur (IPMHT). Acara berlangsung tertib, aman tak ada hambatan.

Beberapa lama acara berlangsung, setelah acara Pelantikan Pengurus usai dilanjutkan dengan acara pementasan kebudayaan. Pidato kebudayaan oleh Bang Jamal berakhir, disusul dengan ‘barongge lala’ oleh beberapa teman Halteng. Seperti biasa, ‘barongge lala’ paling sedikit dilakukan empat orang masing-masing berpasangan, dua orang perempuan dan dua laki-laki. Tak perlu saya menjabarkan filosofi tarian Lalayon di sini. Terlalu sedikit ruang menjelaskannya. Ia memerlukan waktu tersendiri dalam mengurainya. Tarian Lala bukanlah satu tarian yang diciptakan manusia kini. Tapi lebih jauh ia merupakan satu tarian kebudayaan (pengetahuan) yang hadir dari hasil interaksi manusia (leluhur) dengan alam. Sehingga untuk memahaminya, ruang tulis ini belumlah cukup. Dengan lain kata narasi tak sanggup menjabarkannya tuntas.

Acara berikutnya tampil beragam kebudayaan Maluku (Maluku secara umum). Mulai dari tarian, hingga musik. Kemudian tampil pula teater dan baca puisi. Puisi dibacakan oleh saya sendiri. Selama acara berlangsung, suasana tepuk sorak penonton tak henti-hentinya meruang dan mengudara. Tapi yang agak berbeda saya rasakan adalah ketika tampil beberapa acara yakni teater dan pembacaan puisi, juga pada awal pembacaan pidato membuat suasana sedikit berbeda. Suasana riang gembira berubah jadi hening, intim, lalu semacam kerinduan diri pada sesuatu hal. Semacam merindukan suatu keadaan di mana sesama manusia saling berbagi pun manusia dengan alam saling isi mengisi.

Semua penonton hampir-hampir lupa menepuk tangan, tak bisa bergerak, tak juga bersorak, hanya jantung dan aliran darah yang berdenyut, dan hati yang merasa intim. Astaga, saya tak bisa menjelaskan suasana itu dengan sempurnah. Jemari tunduk tak sanggup menjelaskan suasana secara utuh dalam narasi. Suasan hanya bisa terjelaskan ketika kita terlibat dan mengalaminya sekaligus.

Suasana berubah oleh karena pidato, teater juga puisi yang menjelaskan tentang kenyataan riil hari ini. Kenyataan kehidupan masyarakat saat ini. Bukan karena pidatonya, teater atau puisinya itu, tapi karena pesan yang disampaikannya memberitahu pada kita bahwa kenyataan kebudayaan sebagai praktik hidup hari ini hampir-hampir hilang sama sekali, hampir tak ada lagi. Alam (tanah-air) sebagai diri kita, ini hari kita sendiri yang menggadaikannya dengan uang. Kita lah yang menjualnya kemana-mana (kepada korporasi atau pengusaha) demi uang—kertas yang minus nilai itu.

Dalam pidato, Bang Jamal mencoba menjelaskan falsafah hidup orang Gamrange[1]: Ngaku Rasai, Budi Bahasa, Sopan re Hormat, Akal re Wlou, dan Mitat re Miymoi yang kurang lebih penjabarannya sebagai berikut: “Ngaku Rasai atau Mengaku bersaudara bermakna manusia dengan manusia mengaku dan berpengakuan untuk bersaudara  sebagai cara menghubungkan dirinya dalam kesatuan masyarakat (social).  Budi re Bahasa atau Budi dan Bahasa berarti tuturan manusia sama dengan nalar kemanusiaan yang terkelola menjadi perilaku dan tata cara hidupnya bersama alam. Mitat re Miymoy atau Takut dan Malu yakni takut dalam merusak atau memporak-porandakan hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam sebagai satu daur kehidupan, untuk kemudian merasa malu terhadap kerakusan diri yang brutal sehingga malu pula mempraktikkan kerakusan dalam hidup. Olehnya Sopan re Hormat  atau Sopan dan Hormat adalah perilaku manusia yang berke-adab-an dalam menjaga keharmonisan hubungan alam dan manusia. Sehingga mengingatkan pada kita bahwa Otak re Wlow, Otak dan Hati sebagai titik pangkal keseimbangan manusia dalam kosmos akan kehidupan.

Selanjutnya pidato tersebut mencoba menjelaskan dan memberitahu hadirin bahwa dalam konteks kita sekarang ini, falsafah hidup yang sebelumnya adalah ajaran orang Gamrange, tunjuk ajar prilaku orang Halmahera, kini tak bisa dipungkiri telah terlepas jauh dari laku hidup keseharian kita. Falsafah tak lagi punya bobot dalam kehidupan. Ia hanya tinggal dalam konsep yang semu, tak ada pijakan dan tindakan sebagai objek falsafah di alam. Ia sebatas tuturan sekejap, sebatas manis bibir berargumen, sebatas tampilan citra belaka. Bahkan di berbagai kalangan organisasi daerah (Organda) falsafah digunakan, dimengerti hanya sebatas moto yang terpajang di dinding-dinding sekret atau asrama organisasi. Falsafah hidup itu telah kehilangan pijakannya dalam diri pun alam raya.

Seperti pidato, teater dan puisi juga menilik nasib kebudayaan dalam kehidupan kita sekarang ini. Teater dan puisi sama-sama mengkritisi penuh fakta kebudayaan yang di dalamnya berisi ajaran mempertahankan hubungan manusia dan alam sebagai satu kesatuan dan hakikat kebudayaan, kini telah hancur berantakan dan putus-terpisah sama sekali.

“Pasir putih di tanjung membawa keberkahan dan keindahan alam, jejeran pulau dan gunung yang menyimpan kekayaan, sejarah dan ajaran para leluhur, kini berubah jadi kemurkaan dan kerusakan.” Begitulah tertulis dalam naskah teater yang dimainkan malam itu.

Bahwa kekayaan dan keindahan alam (kampung) dahulu begitu menyilaukan dan memberi karunia bagi orang kampung, sekarang justru mengundang kemelaratan dan membawa petaka bagi orang kampung sendiri. Bagaimana tidak, hampir semua tempat dan ruang hidup (tanah dan wilayah kelola rakyat) telah dikuasai oleh berbagai perusahan raksasa dengan konsesi-konsesinya.

Tak hanya di Gamrange (Maba-Patani-Weda), hampir seluruh tubuh Halmahera bahkan provinsi Maluku Utara dan berbagai provinsi lainnya di Republik ini dengan mengatasnamakan pembangunan semua wilayah-wilayah kelola rakyat dirubah menjadi ruang-ruang industri. Industri ekstraktif seperti pertambangan maupun industri perkebunan skala luas seperti sawit dsb. Atas nama program pembangunan yang dicanangkan pemerintah, semua wilayah kelola rakyat berubah menjadi lumbung bercokolnya berbagai korporasi asing, nasional maupun swasta, yang justru menciptakan ketergantungan ekonomi uang dan budaya praktisisme, konsumerisme, dan akhirnya menghadirkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan lebih mendasar adalah kerusakan bentang-layanan-alam (ruang-hidup).

Tak bisa disangkal, apapun yang mengenai persoalan sosial dan ekologi (selanjutnya ditulis: sosial-ekologi) hari ini kita mesti jeli dalam melihatnya. Segala persoalan ini hari bisa dikatakan ia punya tendensi dan persoalan yang berlipat-lipat. Bagaimana tidak, kolonialisme itu sekarang masih berlangsung dalam wajah dan mekanismenya yang berbeda.[2]

Berbagai kasus yang muncul dari tempat beroperasinya perusahan tak sedikit yang mengundang konflik antara perusahan dengan warga, bahkan antara perusahan dengan perusahan. Tumpang-tindih klaim lahan bermunculan antara pemilik modal dengan rakyat, antara pemerintah dengan masyarakat adat. Tumpukan kasus itu sendiri tak pernah dimuat di dalam media-media, malah ditutup-tutupi.

Di Halmahera Utara misalnya, di sana beroperasinya Perusahan asal Australia sejak tahun 1998. Tepat pada tahun 2004 masyarakat adat Kao dan Malifut telah menyadari bahaya yang mengancam eksistensinya, mereka melakukan aksi protes terhadap perusahan yang telah mengambil dan merusak kawasan hutan dan lahan mereka. Aksi pendudukan di kawasan hutan lindung Toguraci adalah salah saatu bentuk perlawanan. Masyarakat dari Desa Eti dan Dumdum Pantai, dari dua kecamatan yang berbatasan dengan lokasi tambang PT. NHM terlibat dalam aksi itu. Mereka menuntut PT Nusantara Halmahera Mineral (NHM) segera meninggalkan lokasi dan merehabilitasi kawasan hutan lindung yang telah dieksploitasi tambang. Mereka juga menuntut PT NHM mengembalikan sebagian laba yang telah diperoleh kepada masyarakat. Sebab selama 10 minggu beroperasi di Toguraci, PT. NHM telah meraih laba Rp 40 miliar lebih. Sementara saat beroperasi di Gosowong dari 1998-2002 meraih laba Rp 600 miliar. Namun, aksi damai masyarakat tersebut dihadapi dengan tindakan represif oleh aparat keamanan yang didatangkan PT. NHM ke lokasi. Pasukan ini memerintahkan masyarakat untuk meninggalkan lokasi tersebut, yang kemudian ditolak oleh masyarakat. Penolakan tersebut malah dijawab oleh tembakan. Akibatnya, seorang warga bernama Rusli Tungkapi tertembak dibagian kepala sehingga meninggal di tempat. Kasus kekerasan tersebut saat ini masih dalam tahap penyilidikan KOMNAS HAM, dan belum ada hasil akhir dari penyelidikan tersebut. [3]

Terjadi pula pencemaran air sungai dan air laut di Teluk Kao, hingga kehidupan masyarakat adat Hoana Pagu dan masyarakat lokal sekitar tambang terancam. Sekitar 29.622 ribu hektar konsesi NHM wilayah adat Suku Pagu. Dalam penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2010, menemukan masalah serius terkait keberlanjutan ekosistem di Teluk Kao. Dari penelitian itu, beragam ikan yang hidup di sana sudah tercemar, antara lain mercuri dan sianida. Berdasarkan keterangan warga dan dokumentasi oleh AMAN, pada 2010, 2011, dan 2012, pipa limbah (tailing) milik perusahaan jebol dan limbah mengalir ke Sungai Kobok dan Ake Tabobo serta beberapa anak sungai yang bermuara ke Teluk Kao. Sejak pipa jebol, masyarakat mulai ketakutan mengkonsumsi ikan dari Teluk Kao. Mereka takut menggunakan air sungai, dan mulai kesulitan mencari udang, kerang dan ikan di air sungai itu. Padahal, sebelum perusahan tambang datang, ikan dan sejenisnya mudah diperoleh. Hasil perkebunan mereka seperti kelapa dan tamanan bulanan lain di sekitar Sungai Kobok tak produktif lagi. Mereka juga mengalami krisis air bersih hingga setiap bepergian ke kebun harus membawa air dari kampung. Warga beberapa desa yang mengalami krisis air bersih seperti Desa Balisosang, Bukit Tinggi, Dusun Beringin dan Kobok. Mereka harus membeli air gelong seharga Rp15.000 per gelong.[4]

Limbah Pt. NHM yang mengalir ke sungai Kobok

Limbah Pt. NHM yang mengalir ke sungai Kobok. Foto: AMAN

Seperti halnya Halmahera Utara, di Gebe-Halmahera Tengah pun terjadi penembakan oleh pihak keamanan perusahan (militer) terhadap salah seorang warga Gebe yang melakukan aksi protes terhadap Pt. Aneka Tambang (Antam) pada 2010; kriminalisasi terhadap 10 warga Weda-Halmahera Tengah saat menentang PHK sepihak Pt. WBN (2011); intimidasi serta penciptaan ruang konflik antar warga (pro-kontra) di Wasile-Halmahera Timur dan Patani-Halmahera Tengah oleh korporasi sawit pada 2014. Belum juga kasus-kasus mengenai kerusakan layanan alam beserta konflik sosial setiap kampung di Halmahera Timur.

Hampir semua media dari skala nasional hingga daerah tak ada satupun yang memuat kasus-kasus tersebut untuk dipublikasikan. Apalagi kasus-kasus yang berhubungan dengan perusahan dan pemerintah. Di saat yang sama isi dari berbagai berita yang dimuat media justru menyebarkan citra para politisi, para elit daerah bahkan keberhasilan perusahan dalam daerah, yang sesungguhnya adalah kebohongan dan dalam rangka menutupi kasus lainnya. Semua tak ada hubungannya dengan realitas objektif keadaan masyarakat. Semua pintu media ditutup rapat untuk kasus-kasus diatas.

Dengan fenomena seperti ini kita hendaknya bertanya, mengapa demikian? Bagaimanakah kita sebagai generasi atau mahasiswa/i yang ‘katanya’ menempuh pendidikan di luar kampung halaman melihat fenomena kampung yang fakta konkretnya sudah seperti ini. Bahwa, para elit daerah yang memimpin masyarakat kita hari ini dan membiarkan keadaan kampung terus diombang-ambingkan masalah demi masalah, adalah mereka yang juga kemarin pernah bersekolah atau menempuh pendidikan seperti halnya kita. Lantas kita bertanya kembali, pendidikan semacam apa untuk bisa kita percayai dalam mengurus hal-hal seperti ini. Maka, sebagai generasi yang ‘katanya’ berpendidikan sekaligus bagian dari masyarakat kampung, apa tugas kita, apa yang mesti kita lakukan? Toh, banyak mahasiswa/i yang sudah menyelesaikan sarjananya di kota lalu pulang ke kampung halaman justru melanjutkan kebohongan; membuat proposal fiktif, melakukan acara-acara seminar yang berakhir di depan pintu gedung, menjadi tim sukses salah satu caleg, melobi proyek-proyek di pemerintah dan perusahan untuk sekedar mengambil uangnya, atau malah menjadi bagian dari pengerukan sumber-sumber hidup rakyat. Bukan membuat regu-regu belajar kritis di masing-masing kampung untuk mendapatkan satu moda pengetahuan tandingan, gerakan tandingan, bahkan ekonomi tandingan (selain ekonomi keruk yang merusak alam) untuk tujuan pembalikan krisis di kampung dan penghancuran ruang-hidup rakyat.

Dari berbagai problem kampung dan rupa-rupa pertanyaan di atas membawa saya pada satu kesimpulan bahwa, keadaan kerusakan atau krisis sosial-ekologi di kampung halaman hari ini sesungguhnya telah di atur secara terstruktur dan sistematis sedemikian rupa oleh sebuah sistem melalui negara sebagai domainnya untuk mengejar keuntungan sebesar mungkin. Sebuah sistem yang merampas sumber-sumber penghidupan rakyat untuk menghasilkan komoditas-komoditas global. Sehingga perlunya dan memang menjadi sebuah kewajiban kita sebagai generasi melihat dengan lebih teliti dan belajar dengan lebih sungguh-sungguh duduk perkara suatu sistem yang serakah yakni kapitalisme sebagai suatu sistem produksi khusus[5].

Dengan adanya berbagai organisasi daerah kita bisa pula menjadikannya sebagai ruang bersama dalam proses belajar memahami persoalan kampung halaman. Jika tidak, berbagai organisasi ini justru menjadi ‘ring tinju’[6] atau arena perkelahian antar-sesama kita dalam mengejar sesuatu yang tak nyata. Dengan demikian justru kita lah yang menjadi penyambung kerusakan di kampung halaman masing-masing.

Mari! Bersama-sama pada hari ini mulai berani berbicara mengenai kerusakan kampung halaman (krisis-sosial-ekologi) dengan senantiasa konsisten terhadapnya. Sehingga kita tahu ‘bagaimana sesungguhnya menyikapi kesemua ini’ di kampung agar kebudayaan dan ajaran hidup orang kampung bisa hadir dan dipertahankan kembali.

Semoga!

[1] Gamrange berarti Tiga Negeri yakni Maba, Patani dan Weda yang punya sejarah panjang kebudayaan di Nusantara.

[2] Rujukan buku Assesment: Tenurial Orang Halmahera Timur dan Tanahnya, karya Surya Saluang dkk, sedikit mengulas mengapa kolonialisme masih bertahan.

[3] http://jopi1903.blogspot.com/2007/02/, diakses pada tgl 20 Maret 2014

[4] http://www.mongabay.co.id/2013/12/10/ diunggah pada tgl 01 Januari 2014

[5] Istilah kapitalisme sebagai suatu sistem khusus, diambil dari tulisan “Ketika Tanah Air Indonesia Porak-poranda; Di Sana Aku Berdiri Jadi Pandu Ibuku”, Noer Fauzi Rachman

[6] Istilah organisasi sebagai ring tinju diperkenalkan oleh Surya Saluang

*Bandung-05 Mei 2015
Rachmat Marsaoly

Satu pemikiran pada “Acara Pelantikan Teman-teman Halteng—Sebuah Catatan untuk Kita-Generasi

Tinggalkan komentar