Halmahera: Krisis Menyejarah Sosial-Ekologi

Pulau Halmahera adalah salah satu pulau yang terletak di ujung Timur Indonesia. Halmahera merupakan pulau terbesar di seluruh Kepulauan Maluku dan bagian dari Provinsi Maluku Utara. Luas daratan Halmahera sekitar 17.780 km2[1] dan laut sekitar 95.000 km dan topografinya memisahkan basin dan pegunungan, yang mana basin Halmahera mencapai kedalaman 2.039[2].

Sebagai pulau yang daratan dan lautannya yang begitu besar dan luas tentunya menyimpan banyak sumberdaya di dalamnya. Cerita kolonialisme di Indonesia sesunggunya bermula dari pulau ini. Halmahera diincar bangsa asing sejak zaman kolonialisme sekitar abad-16. Para penjajah asing mulai berdatangan ke Halmahera, dan di sanalah dimulai kolonisasi sumberdaya alamnya yang berlimpah itu. Adalah cengkeh dan pala kala itu menjadi komoditas unggulan di pasar eropa. Penjajahan yang berlangsung sekian abad itu tidak hanya berhasil mencaplok komoditas negerinya tetapi juga mengubah, memporak-porandakan hampir semua sistem lokal dan cara pandang orang Halmahera terhadap ruang-hidupnya sendiri. Penjajahan itu berlangsung hingga para pejuang negeri berhasil mengusir penjajah sekitar abad- 19.

Setelah kemerdekaan Indonesia, cerita cengkeh dan pala di Halmahera redup. Berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan beralih pada kekuasaan Orde Baru, Halmahera mulai diperhitungkan kembali . Cerita komoditas cengkeh dan pala pun berubah menjadi cerita komoditas tambang: nikel, emas, bauksit, batubara, kelapa sawit dan komoditas pertambangan lainnya. Halmahera menjadi pulau yang penuh ramai dengan cerita pertambangannya. Halmahera menjadi tempat dari beberapa projek pertambangan yang datang mengeruk tubuh Halmahera serta pulau-pulau kecil lainnya dan mencemari air laut pun sungainya.

Halmahera meneruskan kisah yang masih sama namun dalam versi berbeda. Adalah kisah tentang pencaplokan sumberdaya alamnya. Kisah tentang penggusuran dan pengusiran orang Halmahera dari lahan-lahan kebunnya, dari sumber air yang dekat dengannya. Kisah yang bisa dikatakan jauh lebih tragis dari pada sebelumnya.

Pada tahun 1970-an hingga 90-an beberapa Kabupaten di Halmahera mulai dimasuki perusahan. Di Halmahera Tengah (Halteng) tepatnya di pulau Gebe, sebuah perusahan milik negara (BUMN) datang mengkapling dan mengeruk pulau untuk biji nikel. Kemudian disusul sebuah perusahan multinasional asal prancis Pt. Weda Bay Nikel (Pt. WBN). Sedang di Halmahera Timur (Haltim), yakni di pulau Gee sebuah perusahan kontraktor Pt Aneka Tambang tbk (Pt. Antam), Pt. Geomin melangsungkan kegiatan ekstraksi pertambangannya di sana. Dan pada 2003 di teluk Buli, Pt. Aneka Tambang juga datang mengkapling  pulau. Pada tahun selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI No. B. 143/Pres/3/1997 tertanggal 17 Maret 1997 sebuah perusahan emas milik Australia Pt. Nusa Halmahera Mineral (Pt. NHM) masuk beroperasi di Halmahera bagian Utara (Halut) di teluk Kao tepatnya di daerah Gosowong dan Toguraci. Dan masih banyak perusahan yang bercokol di atas tubuh Halmahera, mulai dari yang berpayung BUMN, Swasta, hingga perusahan multi nasional.

Di darat dan laut Halmahera menjadi penuh ramai dengan bising lalu-lalang boulduzer, traktor-traktor raksasa yang menggusur lahan-lahan warga dan mengeruk  hampir separuh tubuh pulau. Kapal-kapal ekspor pengangkut tanah merah yang keluar masuk mengganggu ruang-hidup para nelayan dan warga pesisir. Inilah berikutnya energi, sumberdaya dan budaya Halmahera mulai diambil dan dikacaukan kembali, dimarginalisasi, dijual-belikan jadi barang dagangan lagi.

Saking banyaknya perusahan yang mengeruk-hancurkan tubuh pulau membuat Halmahera sebagai pulau yang mempunyai bentang daratan yang lebih kecil dari pada lautan kini bisa dikatakan tak lagi seimbang. Sungai sebagai urat nadi pulau dan lautan yang memberi penghidupan Orang Halmahera kini masuk dalam areal penghancuran oleh perusahan. Keanekaragaman hayati di daratan maupun lautan perlahan tersingkir dan mati.

Di Haltim, satu persatu mata pencaharian orang mulai hilang karena tak lagi ada yang mau perduli, kebun-kebun yang tersisa nyaris tak diperhatikan lagi, nelayan telah jarang turun ke laut untuk mancing. Apalagi dengan bertambahnya izin pertambangan yang dikeluarkan pemerintah kepada perusahan, dan bertambah luasnya wilayah Kawasan Perusahan membuat para petani menjual hampir semua lahan perkebunan dengan uang yang tak menjanjikan keselamatan masadepannya apalagi anak cucu.

Di Halmahera Tengah, sama halnya. Masyarakat Sagea yang telah bergantung hidup ratusan tahun dari Sagu dan ikan di sungai juga laut kini mengalami kesusahan dalam mencari penghidupan demikian. Lahan-lahan sagu masuk dalam konsesi pertambangan, digusur bolduser perusahan. Warga dipaksa menjual tanah yang ditanami pala, cengkeh, jagung, coklat, sagu, ubi dan pisang kepada perusahan. Pemaksaan itu datang dari perusahan dan pemerintah sendiri. Perusahan dengan serdadu negaranya (aparat), pemerintah dengan mekanisme sosialisasi dan iming-iming lapangan pekerjaan kepada masyarakat yang sejatinya hanya ilusi. Sungai besar seperti Sungai Lor perlahan tercemar limbah tambang. Seperti Sungai Sangaji di Halmahera Timur, hampir setiap musim hujan, Sungai Lor terlihat merah dan keruh karena tanah merah dari tambang.

Cerita penjualan tanah atau lahan kebun kepada perusahan adalah cerita baru yang belum pernah dilakukan Orang Halmahera sebelumnya. Cerita penjualan tanah ini sendiri punya kisah tersendiri. Semua cerita ini dimainkan dengan bersih oleh pihak perusahan.

Seorang warga kampung yang termasuk bagian dari orang perusahan PT. Antam bercerita saat kami melakukan riset kampung: “setiap kali jika perusahan mau menambah konsesi pertambangannya,  kami dikasih uang untuk membayar masyarakat yang tanah atau lahan kebunnya masuk dalam areal konsesi pertambangan. Dan apabila ada aksi massa dari masyarakat atau mahasiswa, diam-diam kami memberikan uang kepada mereka yang memotori (kordinator aksi) massa tersebut. Saya termasuk salah satu yang pernah menyokong beberapa pemuda dan mahasiswa dengan uang yang membuat aksi massa itu, tapi beberapa menerimanya dan lainnya menolak”.

Bukan hanya daratan yang menjadi kawasan perusahan, lautan juga dipagari perusahan sehingga hak atas laut setiap masyarakat menjadi terputus. Akibatnya, karena Pemerintah Daerah tak pernah mengurusi ekonomi lokal orang kampung dan hanya mementingkan ekonomi ekstraksi tambang yang ganas itu, sehingga untuk makan ikan laut saja masyarakat sangat kesusahan. Keadaan mulai terbalik drastis dari yang ‘apa adanya’ menuju ‘tak ada apa-apa’.

Kini, di setiap tempat beroperasinya perusahan, masyarakat semakin resah dengan kehadiran perusahan-perusahan itu. Sekitar tahun 2013, di Halmahera Timur, salah satu lembaga pergerakan, Salawaku Institute, melakukan aksi pemboikotan terhadap aktifitas pertambangan Pt. Aneka Tambang di Buli. Beberapa pemuda yang tergabung dari dua desa, Buli dan Mabapura bersepakat menutup semua akses aktifitas perusahan. Semua jalan-jalan utama lalu lalang kendaraan perusahan ditutupi dengan membuat tenda-tenda, mereka melakukan orasi kritik terhadap perusahan, Semua muatan orasi berisi, kecaman terhadap Antam yg menyebabkan pencemaran lingkungan, pendapatan ekonomi yang tak berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan, kedaulatan tanah dan air, dan keselamatan manusia dan alam semesta. Aparat keamanan yang diutus perusahan datang berkompi memakai truk untuk membubarkan aksi massa tersebut.

Namun, bukan malah berhenti tapi aksi massa bergerak terus hingga berakhir pada pernyataan sikap antara lain: Meminta pihak perusahan harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan krisis sosial terutama sekali keberadaan pohon mangruf di pesisir dan tanah merah yang tercemar di laut dan menggangu para nelayan, perusahan wajib menyampaikan secara terbuka kepada masyarakat langkah-langkah pemulihan krisis lingkungan hidup, termasuk anggaran reboisasi, meninjau kembali Pabrik Feronikel di Mabapura yang jelas terang mengancam keselamatan manusia dan lingkungan sekitar, dan segera mempertanggungjawabkan seluruh program CSR yang telah dilakukan. Namun, sampai hari ini semua tuntutan itu tak kunjung dikerjakan oleh perusahan dan tak pernah di dengar oleh pemerintah.

Ragam kasus yang tercipta karena ulah kehadiran perusahan di Haltim sangat banyak. Terjadi intimidasi antar warga (pro/kontra) Wasile / Halmahera Timur dengan warga Patani / Halmahera Tengah di tengah hutan antara Wasile dan Patani. Konflik ini terjadi karena perebutan lahan yang masuk dalam areal konsesi pertambangan Pt Weda Bay Nikel (WBN).

Konflik serupa terjadi di awal tahun 2013 di Mabapura di dalam areal pertambangan Pt Aneka Tambang antara warga dengan Pemerintah Desa. Seorang warga bernama Yunus yang tak mau menjual lahannya kepada perusahan Pt. Minerina untuk perluasan konsesi nikel, dipaksa oleh Pemerintah Desa untuk menjualnya. Menurut keterangan warga tersebut, samasekali tak tahu dan tidak pernah ia dengar sebelumnya bahwa kebunnya masuk dalam areal perluasan konsesi, tiba-tiba tim eksplorasi perusahan masuk kebun dan melakukan pengeboran. Setelah ia mengusir orang-orang ini, tak lama kemudian datanglah Kepala Desa. Kepala Desa berdalih bahwa, kebunnya telah masuk dalam wilayah Desa Soa Sangaji dan Desa telah mengeluarkan izin untuk perluasan konsesi perusahan. Namun, warga tersebut tak menerima begitu saja, dan terjadilah adu mulut hingga pada ujungnya terjadi perkelahian. Sampai hari ini, kebun warga tersebut berhasil dipertahankan.

Masih dalam desa dan tahun yang sama, seorang warga bernama Rabo Gaibu ditangkap di dalam kebunnya oleh aparat kepolisian yang memakai mobil Perusahan Pt. Aneka Tambang (Antam). Ia dituduh telah melakukan tindakan kriminal karena membakar kebunnya yang menurut aparat polisi telah masuk dalam areal Pt. Aneka Tambang (Antam). Ia kemudian dibawa ke kantor polisi dan dimasukkan ke dalam penjara. Namun sehari setelah kejadian, sebagian warga dan keluarganya datang meminta ia dikeluarkan dari penjara. Setelah dilakukan evaluasi selama tiga hari, warga tersebut kemudian dinyatakan tak bersalah. Saat warga meminta alasan sebab ia ditangkap, anggota kepolisian ini menjelaskan bahwa mereka sendiri tak tahu menahu, mereka hanya menjalankan perintah dari pihak perusahan saja.

Di Halmahera Tengah hingga Halmahera Timur, Pt Weda Bay Nickel (WBN) yang memiliki konsesi tambang seluas 54.874 hektar adalah yang terbesar Indonesia. Sekitar 35.155 hektar berada di hutan lindung! Tak hanya konflik agraria, kerusakan bentang alam pun di depan mata. Sejak awal masuk pada 1999, perusahan sudah berkonflik dengan masyarakat adat setempat, yakni Sawai dan Tobelo Dalam. Kini, perusahan bersiap eksploitasi. Pabrik sudah dibangun. Masyarakat adat terancam tersingkir dari tanah leluhur mereka.[3]

Masyarakat adat lainnya yang juga termasuk dalam areal konsesi pertambangan dan terjadi konflik lahan antara masyarakat dan perusahan terdapat di Desa Gemaf, Kobe, Sagea, dan Lelilef. Tak hanya perampasan lahan, beberapa desa terancam direlokasi karena kampung masuk dalam konsesi perusahan. Di desa-desa masyarakat adat itu ada sekitar 140 an keluarga. “perusahan langsung masuk saja tanpa bicara atau ada kesepakatan dengan warga, karena merasa berbekal izin pemerintah”. Warga pun melawan. Protes berkali-kali tetapi tak ada yang mendengar, baik pemerintah apalagi pengusaha. Pada 2012, saking emosi, warga membakar alat-alat perusahan. Warga ditangkap dan dipenjara. Perusahan gunakan polisi dan tentara, kejaksaan dan polisi hutan untuk mengkapling sepihak wilayah yang jadi perkebunan masyarakat itu.[4]

Para aparat pemerintah yang bertindak bak penpanjangan tangan perusahan ini menakut-nakuti masyarakat dengan pasal-pasal yang bisa mempidanakan mereka. Misal, warga tak boleh masuk hutan, dibacakan aturan terkait itu. Padahal, sejak dulu kala, hutan adalah tempat bergantung hidup masyarakat, rumah untuk penghidupan bagi mereka hingga anak-cucu.

Kawasan tambang ini berada di tengah hutan primer yang masih bagus. Dan hutan terancam terbabat. Di pinggiran hutan mengalir Telaga Lor, dekat Desa Sagea. Air jernih dan bersih. Ia juga terancam tercemar. Padahal, masyarakat sekitar menggunakan air untuk kehidupan sehari-hari. Bukan itu saja, para perempuan yang akan melahirkan menggunakan air sungai ini. mereka tak pakai puskesmas, perempuan-perempuan melahirkan di air. Bagaimana jika air tercemar?

Pada 2010 lalu, di Pulau Gebe, tempat bercokolnya Pt Aneka Tambang tbk (Antam) terjadi penembakan warga Gebe oleh serdadu negara yang bertugas mengamankan tambang yang melakukan aksi protes terhadap Pt Antam. Kasus ini pun tak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat apalagi perusahan sendiri.

Kerusakan bentang alam dan kerusuhan sosial yang terjadi di Halmahera selalu berada di tempat-tempat di mana ada perusahan. Di Teluk Kao, di daerah tempat beroperasinya Pt Nusa Halmahera Mineral (NHM), terjadi pencemaran air sungai dan air laut. Hingga membuat kehidupan masyarakat Hoana Pagu dan masyarakat lokal sekitar tambang terancam. Disebutkan pula, penelitian Institute Bogor (IPB) pada 2010, menemukan masalah serius terkait keberlanjutan ekosistem di Teluk Kao. Dari penelitian itu, beragam ikan yang hidup di sana sudah tercemar, antara lain mercuri dan sianida. Berdasarkan keterangan warga dan dokumentasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 2010, 2011, dan 2012, pipa limbah (tailing) milik perusahan jebol dan limbah mengalir ke sungai Kobok dan Ake Tabobo serta beberapa anak sungai yang bermuara ke Teluk Kao.[5]

Sejak pipa jebol, masyarakat mulai ketakutan mengkonsumsi ikan dari Teluk Kao. Mereka takut menggunakan air sungai, dan mulai kesulitan mencari udang, kerang dan ikan di air sungai itu. Padahal, sebelum perusahan tambang datang, ikan dan sejenisnya mudah diperoleh. Hasil perkebunan mereka seperti kelapa dan tanaman bulanan lain di sekitar Sungai Kobok tak produktif lagi. Mereka juga mengalami krisis air bersih hingga setiap bepergian ke kebun harus membawa air dari kampung. Warga beberapa desa yang mengalami krisis air bersih seperti Desa Balisong, Bukit Tinggi, Dusun Beringin dan Kobok. Mereka harus membeli air gelong seharga Rp 15.000 per gelong. Perusahan juga menggunakan Brimob untuk menjaga dan mengawasi pertambangan. Pada 2013, seorang warga, Rusli Tunggapi, tertembak. Awal tahun,tiga warga adat Hoana Pagu di Desa Sosol mengalami kekerasan oleh Brimob. Pada 2012, sebanyak 30 warga adat Pagu ditahan karena aksi protes di Perusahan.[6] Dan semua kasus ini tak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat. Tak pernah diberitakan malah ditutup-tutupi oleh pemerintah dan perusahan.

Sedang di Halmahera bagian lainnya, Halmahera Selatan (Halsel), di Gane tepatnya, sejak tahun 2011, Pt. Gelora Mandiri Membangun (GMM), sebuah perusahan sawit skala besar yang mengantongi Izin Pelepasan Kawasan (IPK) menancapkan alat beratnya di atas bumi Gane. Tanpa sosialisasi ke warga, perusahan yang wilayah konsesinya kemudian dijual ke Pt. Korindo itu melakukan praktek penggusuran hutan, juga kebun milik warga, baik yang pro dan telah mendapat ‘ganti rugi’  maupun terhadap kebun warga yang menolak adanya investasi ‘perbudakan’ tersebut. Dengan izin luas konsesi 11.09 hektar versi AMDAL, warga pesisir yang umumnya adalah petani kebun kelapa, cengkeh, dan pala kemudian dipaksa menjadi buruh sawit bagi perusahan.

Warga Gane Barat menceritakan bagaimana hadirnya korporasi sawit ini kemudian memecah belah solidaritas dan persaudaraan antar mereka. Warga kampung tersebut kemudian terpolarisasi dalam dua blog sentiment, pro dan kontra. Tidak cukup dengan strategi mencipta ruang konflik antar warga, pada 2013 korporasi ini juga menggunakan kekuatan serdadu negara untuk mengkriminalisasi 13 warga yang melakukan aksi blokade jalan loging sebagai bentuk perjuangan menjaga ruang-hidup. Warga yang ditangkap dan ditahan selama kurang lebih tiga bulan lalu diproses hingga ke pengadilan dan dinyatakan tidak bersalah alias bebas demi hukum.

Lalu 2014, dua warga Gane Luar dijemput paksa oleh anggota polisi dari Polres Halmahera Selatan. Satu diantara dua warga ini berusia 15 tahun. Dia dipukul serta diintimidasi saat dibawa dengan mobil Pt. Korindo yang digunakan aparat kepolisisan tersebut. Dia juga dipaksa untuk membuat pengakuan mengenali pelaku peristiwa seorang buruh perusahan yang diduga dicederai saat menebang kayu di hutan. Keduanya ditemukan di Ufa, lokasi perkebunan warga Gane Luar saat sedang mencari sapi. Mereka lalu dibawa ke bescamp Pt. Korindo dan kemudian diinterogasi secara terpisah.

Upaya-upaya warga untuk menahan dan mengusir perusahan berbalas kejahatan oleh korporatokrasi. Pada 7 Januari 2015 di Desa Gane Dalam terjadi adu mulut antar warga dengan pihak kepolisisan Halmahera Selatan yang bertugas mengamankan perusahaan. Kejadian berlangsung di salah satu kebun jurami milik salah satu warga di lokasi yang bernama Malalo. Tiap perusahan mengklaim lokasi kebun jurami tersebut merupakan hutan, bukan kebun sehingga akan digusur untuk perluasan konsesi sawit. Warga pemilik kebun lantas menolak klaim tersebut. Setelah adu mulut, seorang oknum polisi langsung mengeluarkan sepi dan melepaskan tembakan ke udara. Warga bukannya takut tapi justru semakin berani karena mereka benar, mereka mempertahankan lahan, ruang-hidup, tanah moyangnya, warisan bagi generasinya. Walaupun akhirnya penggusuran akhirnya dihentikan, namun tentu saja warga Gane setiap saat dihantui rasa was-was, di mana kapan saja ketika mereka jengah, ruang-hidup mereka akan tergusur oleh raung bolduzer korporasi. Karena peristiwa semacam ini tak hanya dialami warga satu-dua kali melainkan berulangkali.[7]

Kerusakan bentang alam, hilangnya keselamatan masyarakat dan makhluk sekitar, juga kerusuhan dan pertempuran sosial tak pernah dievaluasi oleh pemerintah pusat hingga daerah. Perebutan ruang hidup dan kerusakan alam yang berjalan massif tak pernah dijadikan agenda utama pemerintah untuk menghentikannya. Bahkan banyak data dari hasil penelitian tertentu menjelaskan bahwa justru yang menggerakkan dan menjadikan fenomena sosial demikian adalah Pemerintah yang berkongsi dengan pemodal (perusahan).

Seorang warga kampung Desa Mabapura yang sekaligus adalah orang perusahan Pt. Roda Nusantara Mining menuturkan: “banyak orang kampung tidak tahu menahu tentang sebab konflik lahan antar warga, mereka mengira ini hal biasa, padahal semua telah diatur oleh perusahan. Perusahan mencipta konflik antar warga supaya nanti mereka tinggal membayar saja, karena perusahan tahu bahwa masyarakat pasti membutuhkan uang”.

Ini sebuah ironi yang terang, yang perlu diperingati, ditindaki. Sebuah kebohongan publik yang berhasil di desain oleh para penguasa negeri dan orang-orang yang hanya mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya. Ini merupakan sebuah penjajahan berkelanjutan dari sejarah panjang penjajahan sebelumnya. Sebuah krisis menyejarah yang tak akan bisa berhenti tanpa perjuangan kolektif dan dukungan bersama.

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Halmahera

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Laut_Halmahera

[3] http://www.mongabay.co.id/2013/06/07/  di akses pada tanggal 10 Maret 2015

[4] Ibid

[5] http://www.mongabay.co.id/2014/01/03/  di akses pada tanggal 10 maret 2015

[6] Ibid

[7] Diambil dari catatan Solidaritas Gane Berlawan.

 

Rachmat Marsaoly

Sajogyo Institute, Bogor, 14 Maret 2015

7 pemikiran pada “Halmahera: Krisis Menyejarah Sosial-Ekologi

Tinggalkan Balasan ke Rachmat Marsaoly Batalkan balasan