Aku dilahirkan dari garba ibunda
tumbuh besar riang bermain di atas tanahmu
ku saksikan megah lukisan Tuhan di negeriku
lautan tenang, pulau-pulau berjubah hijau berjejeran
memberi senyum damai padaku dan negeriku
Terdengar bunyi genderang dengan syair Lala
membatin dalam diri masyarakat
meruang melintasi cakrawala hingga Arsy Tuhan
lalu menjelma jadi tarian-tarian sufistik
membuat negeriku bak negeri Sulaiman dengan kerajaan jin
Tetapi, damai negeriku cuma sesaat
pulau-pulau berjubah hijau
berubah merah menyesatkan
senyum damai kebahagiaan, berubah kebencian yang dahsyat
Mereka yang datang di waktu pagi
dengan bebas mengambil tahta negeriku
menancapkan hak di atas keringat
dan darah para leluhur
Syair–syair Tauhid terkubur
di antara impitan karya-karya raksasa
setiap kemegahan yang didirikan
dibangun dengan biaya darah
dan daging mereka yang terpinggirkan
air mata negeriku tumpah lagi
Oh, Gisbayo merintih mengenang penderitaan leluhur
kau menangis melihat penguasa dzalim bermain-main
Wahai para merpati muda
kepakkan sayap putihmu
menuju ruang pengetahuan dan spritual
hingga kembali engkau dengan kedua sayap hikmahmu
janganlah takut pada kejatuhan dan reruntuhan
karena dari kejatuhan ada kebangkitan
dari reruntuhan terbangun menara-menara tinggi
Lihatlah dirimu
lihatlah negerimu
berapa banyak sudah berdusta kau padanya
berapa banyak sudah berkorban kau untuknya
saat ini negerimu tidak butuh uang
negerimu tidak butuh pembangunan
karena telah muak ia dengan uang-uang korup
telah muak dengan ketidakadilan pembangunan
Lihatlah dirimu
lihatlah negerimu
berikanlah bunga hikmah padanya
lalu tancapkan tongkat Musa di atasnya
bangunan kesadaran bangunlah di dalamnya
karena itu buat ia senyum kembali
Mengapa harus pasrah jadi burung kecil
bangunlah sarang di bukit yang tinggi
lebih tinggi dari persemayaman sang garuda
biarkan sarang dibalut kilat dan petir
agar lebih layak kita gumuli perjuangan hidup
dan jiwa raga menyala dalam api kehidupan dan cinta
Yogyakatra, Umbulharjo, 04–Januari–2012