Di tanah penjajah
langit manusia menjalar kabut
mengundang gemuruh berkali-kali
umur bukan lagi tangga hidup yang dihormati
apalagi merenungkan ribuan rahmat diatas bumi
Tanah tandus, kering kerontang, air tak mengalir
manusia sia-sia
Semua terbakar ego dan libido
udara sesak, pepohonan dan gunung berlarian
satu per satu gubuk-gubuk bermunculan
mengundang kemelaratan
tumbuh subur dengan kesiksaan
Kekayaan, kemiskinan, perkotaan, pabrik, trotoar, perumahan
semuanya penjajahan
pantun dan syair-syair para petani, nelayan
dipotong-potong, diganti, dibuang, jauh-jauh
hingga pantun dan syair-syair itu kembali lagi dengan
rupa yang lain, maksud yang buruk, dan takdir yang ganas
Selamat Pagi Halmahera Timur yang celaka
Mabapura, 05-05-2014
*Puisi ini pernah dimuat dalam majalah Salawaku edisi 1 2013