Kitorang pe kampung so ancor.
Skarang, kitorang so tra tau mo bikin bagimana lagi nih.
(Kampung kami sudah hancur.
Sekarang, kami tak tahu bagaimana lagi selanjutnya)
(Perkataan seorang Ibu kepada saya di Desa Mabapura)
Beberapa bulan lalu, saya dan teman-teman dari Jogja kembali ke kampung halaman. Tentu, tak ada perjalanan “manusia yang sadar” yang tak mengenal tujuan dan maksudnya sendiri. Begitu juga kami, bukan kembali begitu saja, atau pulang dengan keinginan kosong dan hampa. Melihat sekaligus dengan kemampuan memperjuangkan nasib negeri yang kini berada di ujung jurang binasa adalah tujuan kami, belajar bersama orang kampung yang ini hari di kocok-kocok oleh janji manis dan berakhir dengan kepahitan, khayalan tinggi yang berujung pada kehampaan, agar sedikit demi sedikit, sesuai dengan mimpi kami perlahan keluar dari penjara khayal selama ini. Sekarang, orang kampung–termasuk barangkali anak cucunya nanti–tercerabut dari akar sejarah dan budaya yang luhur. Siapa yang mendesain ini, dan yang masih akan terus menjual hajat hidup orang-orang ini. Tak bisa menyebutkan siapa dia siapa mereka, sebab ada “banyak dia dan mereka” yang turut menghancurkan nasib orang-orang kecil.
Pulang kampung. Dua kata itu tak hanya terdiri dari tiga belas huruf yang tegak atau miring, pun tidak hanya keluar dari mulut dan dituliskan jemari begitu saja. Dua kata itu punya daya yang tak biasa, ia punya kedalaman rasa dan luasan makna yang tak bisa diurai tafsirkan dengan gampang dan sepele. Pulang kampung merupakan bahasa orang merdeka, bukan orang-orang kalah, suatu bahasa yang punya manifestasi ruang hidup yang kaya, bebas, bersahaja, nyaman dan sekali lagi merdeka. Merdeka terhadap dunia, manusia, terhadap alam dan diri sendiri. Ia punya kisah yang panjang dan dalam, di kedalaman kisahnya ada energi kuat. Sebuah kisah orang-orang yang berpegang teguh pada adat budaya dan nilai luhur para leluhurnya, nilai luhur dari alamnya. Bukan kisah penyingkiran sebuah masyarakat adat dari tempatnya sendiri, seperti dalam buku Roem Topatimasang (2004) itu.
Namun, bila ada yang hendak bertanya pada saya, apakah saya termasuk dalam barisan orang yang pulang kampung, atau orang merdeka terhadap manusianya, dunia dan alamnya. Maka sungguh pertanyaan tersebut seperti menendang saya jauh-jauh dari barisan itu. Barisan orang merdeka itu. Saya termasuk orang-orang kalah yang telah dikisahkan Roem Topatimasang dalam bukunya Orang-Orang Kalah. Sayalah orang yang disingkirkan dari adat budaya dan sejarah, dari ajaran dan kepercayaan. Orang yang dirampas ruang hidupnya secara paksa.
Saya tak sendirian, orang-orang yang berada di sekeliling saya hari ini juga termasuk dalam barisan orang-orang kalah, orang-orang yang sejatinya tak lagi hidup dalam ruang hidupnya sendiri, orang-orang yang dikebiri jauh-jauh hari, dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman, dan kemudian terasing dari tanah-airnya sendiri, dan hampir-hampi tak sanggup lagi mengenal diri, atau kalau tidak menjadi pecundang di negeri sendiri. Dari abad ke abad, kami bukanlah orang yang mengambil bagian dalam melangsungkan sebuah perubahan besar yang terjadi dalam ruang ini, bukan pula kami yang menentukannya.
Beberapa bulan lalu, sekembalinya saya dari Jogja, benar-benar saya merasakan kenyataan bahwa selama ini, setelah jutaan tahun kami antri dalam barisan orang-orang kalah, kami hanya hidup dalam ruang jadi-jadian, sebuah ruang yang telah didesain dengan ribuan hayalan dan polesan janji yang tak pernah nyata wujudnya, dan mungkin hingga hari-hari yang akan berdatangan. Bila tidak cepat kita mengatasinya dan acuh tak acuh terhadapnya.
Gugusan pulau-pulau yang menyimpan memori sejarah, yakni kisah para pejuang negeri dalam melawan para penjajah, kini dibabat habis, digusur dan diangkut pergi ke negeri-negeri para penjajah pula. Kampung yang dahulu molek nan indah, alam dan manusia yang aneka dan bijaksana, berubah ganas dan buas, masing-masing bermusuhan di ladang sendiri. Para petani dan nelayan tinggalkan cangkul dan parang, kail dan jaring, kuda-kuda[1] dan pacul, berlomba-lomba mencari kerja baru dalam ladang penjajah yakni kerja paksa dengan wajahnya yang baru pula. Kebun-kebun berubah tambang yang merusak, lautan dan ikan tercemar dan mati, anak-anak kecil yang tak tahu apa-apa menjadi tempat bersarangnya penyakit, karena diserang debu truk tambang dan traktor ganas. Orang-orang tua yang sejatinya tak mengenal kekuatan khayal yang bernama uang, dalam kepala mereka dicemari janji-janji tinggi, kemajuan dan pembangunan semuanya hanyalah omong-kosong belaka. Mereka menjual tanah tempat berpijak, rela menebang ribuan pohon masadepan anak cucunya, yang semua itu berada jauh di luar kesadaran dan kemauan yang sesungguhnya. Hasil dari pada itu semua adalah orang tak lagi menghargai sejarah dan budayanya sendiri. Tak lagi saling menghargai saudara sendiri. Tak menghormati tanah-air sebagai asal muasal dirinya sendiri.
Sesampainya di kampung saya Mabapura, yang dahulu dikenal dengan lumbung ikan dan lautannya yang teduh, sekarang semua pemadangan itu tak saya jumpai lagi, semua berubah aneh dan menyedihkan. Lautan dalam yang biru dan pulau hijau yang sentosa, dihiasi limbah tambang, merah dan mengenaskan. Orang-orang tak lagi saling berbagi dengan ikhlas sebagai modal atau hubungan kekeluargaan sebagai syarat. Melainkan semua digantikan dengan uang sebagai modal utama yang ampuh dan kepentingan individu sebagai syarat mutlak. Semua seakan-akan menyembah uang yang minus nilai. Lahan-lahan kebun dan bentang alam yang luas, di mana dahulu begitu akrab dengan kami, telah dijual dengan harga murah, sungai-sungai jernih yang pernah kami mandi, mencuci pakaian, minum dengan bebas dan sukarela, dibiarkan keruh dan terus keruh.
Betapa sekarang, saya tak merasa pulang kampung lagi, saya seperti berada di negeri asing. Wajah kampung telah digilas, diubah jadi wajah yang lain. Padahal kampung adalah tempat kembali, ruang di mana orang merasa benar-benar pulang pada asalnya, menjadi satu dengan semuanya. Teduh, tenang, aman dan damai, adalah hakikat daripada orang-orang yang pulang kampungnya. Tapi sekarang semua hakikat itu entah di mana, entah kemana, semuanya berlari jauh dan jauh sekali dari pikiran manusia dan batin kampung itu sendiri. Saya bernasib seperti dalam puisi Afrizal Malna, saya tak tahu|kemanakah saya akan pulang kampung|kampung ini bukan lagi kampung saya dahulu.
Akhir tulisan ini ingin saya mengumandangkan sebuah puisi sebagai berikut:
Pulang Kampung
Dan kami hampir tak mengenal apa-apa kini
Suara-suara yang menabrak sukma hari ini
Di penuhi muatan basa-basi, dan rasa sakit hati
Sebab kami tak lagi mengenal bahasa
Dan meninggalkan majelis rasa
Hingga robohnya bangunan budaya
Beberapa bulan lalu, saya meninggalkan kota
Dengan kokoh niat menuju kampung kita
Pulang kampung adalah perjalanan menempuh makna
Menyapa damai dan bersenggama dengan bahagia
Tapi kawan, kini kita dapat apa dari bahasa itu, “pulang kampung”
Siapa yang akan membimbing kita menuju kampung
Menuju bahasa yang tak biasa, dua kata yang siapapun ia
Pasti mengenalnya, berdamai dengannya…
Alam dan manusia, mungkin akan sia-sia
Lihat saja pulau-pulau bersejarah itu
Atau pantai-pantai yang penuh kenangan di situ
Ditebang, digusur, dikeruk, dikotori
Tanpa penghormatan dan kemuliaan
Tanpa belas kasih kemanusiaan
Lihat pula seorang ibu tua di bawa terik itu
Menggendong anaknya dan mengais rejeki di tebing-tebing batu
Sedang di samping kiri dan kanan mereka, berdiri rumah-rumah ber-AC
Pulang kampung kini bukan lagi bahasa kita
Kata-kata itu bagai sembilu
Bagai angin lalu
Yang menusuk-nusuk qalbuku
Saya bernasib pilu, berlapis luka, dan dikepung duka
Lalayon kini tak lagi mendapakan tempatnya
Kabata kini berlarian entah di mana, entah kemana
Belantara hutan dan gugusan gunung-gunung
Tidak untuk di keruk oleh tangan-tangan serakah
Tidak juga untuk penjilat tahta
Kawan, kini saya tak dapat pulang kampung
Sebab Haltim bukan kampung saya dahulu
Perahu Haltim telah ditenggelamkan kedalam lautan modernis
Sepanjang mata dan rasa memandang, hanya pemandangan miris
Bila dahulu modal kampung adalah keikhlasan dan kekeluargaan
Kini dirubah jadi transaksi untung rugi
Dan mengundang petaka
Maka dengan puisi ini saya bersaksi: bahwa sejarah dan budaya
Adalah jati diri ummat manusia, hakekat semesta raya
Bila hilang salah satu, hilang seluruhnya
Sungguh kawan, ini hari saya tak lagi pulang kampung…
Apakah dan Siapakah yang mesti di selamatkan?
Kampungkah?
Kotakah?
Manusiakah?
Atau alam?
Terimakasih!
[1] Kuda-kuda adalah alat pemotong rumput-rumput kecil yang biasa dipakai para petani (di kepulauan Maluku) di kebun
Mabapura, Rabu, 07 Mei 2014
–Rachmat Marsaoly
Reblogged this on Rachmat Marsaoly.
SukaDisukai oleh 1 orang