Kehidupan manusia tak lepas dari zamannya. Ia dituntut menggeluti zamannya. Manusia bukanlah produk zaman. Sebaliknya, zaman itu produk dari manusia. Meskipun zaman bersifat niscaya dalam kehidupan.
Apabila zaman diciptakan dan dikuasai oleh mereka yang rakus, serakah dan tamak, maka zaman berwajah sebagaimana sifat dan perilaku pembuatnya. Perkembangan zaman yang kini terjadi malah sebaliknya: manusia dikuasai oleh zamannya. Sehingga, laku dan gaya hidup manusia seolah dikontrol zaman. Ironisnya, manusia semakin jauh dari kemanusiaannya sendiri.
Zaman: berkembang, maju dan berubah. Itu niscaya. Namun, dalam kemajuan, perubahan dan sebagainya itu, ada ragam nilai di dalamnya. Tak bisa begitu saja mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Sebab, setiap zaman memiliki nilai baik dan buruk. Zaman bisa jadi baik, bila manusia yang bertanggungjawab, arif, bijaksana, dan penuh moral menciptakannya. Bila tidak, akan berlaku sebaliknya.
Paradoks manusia
Manusia, adalah makhluk yang selalu berupaya berlaku baik demi menemukan eksistensinya. Membantu yang lain dan membuat dunia lebih baik untuk dihuni. Manusia pula yang mampu mengarahkan dirinya pada tujuan yang baik, tapi juga bisa ke arah yang buruk. Sebab, dalam diri manusia mengandung kemungkinan baik dan buruk: fitrah yang lurus dan egoisme. Dalam dirinya, manusia memiliki kehendak dan pilihan bebas serta menentukan nasibnya sendiri.
Di samping sebagai individu, manusia juga makhluk sosial, saling memberi dan menerima, menjaga dan melindungi. Selalu mencari kebahagiaan. Namun, ini hanya satu sisi dari sifat manusia. Tapi bersamaan, manusia juga saling menjatuhkan, meremehkan dan mengalahkan. Karakter dualitas ini tampak dari sejarah masa lalu hingga ruang hari kini.
Dalam kitab agama moneteis, manusia disebut pemimpin di muka bumi. Predikat ‘pemimpin’ ini diemban karena manusia memiliki potensi muliah: intelektual dan spritual. Itu sebabnya, manusia juga disebut makhluk dua dimensi: lahiriah dan batiniah atau jasad dan pikiran.
Filsuf Aristoteles misalnya menyebut, ‘manusia adalah hewan yang berpikir’. Secara lahiriah, fisik. Manusia dapat disamakan dengan binatang: makan, minum, berjalan, dll. Sedangkan batiniahnya adalah jiwa atau spiritual. Itu-lah yang menyebabkan manusia menduduki tingkat tertinggi. Bila manusia hanya mementingkan dimensi lahiriahnya, ia seperti binatang bahkan bisa lebih rendah dari itu. Tapi bila dimensi batiniahnya yang diutamakan, derajatnya akan melebihi segala ciptaan, bahkan lebih tinggi dari malaikat. Itulah manusia—makhluk ‘rendah’ tapi juga amat ‘tinggi.’ Maka, di setiap zaman manusia-lah yang menjadi poros segala perubahan dan kemajuan, baik-buruknya suatu zaman.
Intelektual dan spritual
Segala perkembangan dan kemajuan zaman mestinya berdiri di atas fondasi intelektual dan spritual manusia. Jika zaman mengalami kekeringan intelektual dan spritual maka segala model ‘perkembangan’ apa pun hanyalah sebuah perkembangan material. Yang lebih banyak mengalienasikan manusia dari jati diri, meredupkan cahaya spritualnya. Perkembangan zaman semacam itu hanya mengembangkan satu sisi zaman. Pembagunan material: jalan, gedung-gedung dan lain-lain. Sejatinya, perkembangan zaman tak hanya perkembangan dan kemajuan pembangunan infrastruktur itu. Melainkan perkembangan intelektualitas dan spritualitasnya.
Bila kita perhatikan, banyak hal yang mesti berkembang justru ditinggalkan. Yang mesti ditinggalkan, malah dikembangkan. Yang hayalan dibuat nyata, yang nyata dibuat hayal. Kebenaran jadi palsu, begitu pula sebaliknya. Zaman seolah menjadi sketsa penuh pergolakan.
Pembangunan dalam arti material bukan hal asasi. Kebutuhan material hanya sarana, bukan tujuan. Karenanya, perkembangan zaman harus di bawa kendali intelektual dan spritualitas. Inilah tugas manusia. Merenungi, mengerti, memahami, hakikat zaman—zaman di mana kita hidup ini.
Jika tidak, kehidupan manusia akan semakin jauh dari ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan hidup. Al-qur’an mengatakan, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”
Baik-buruknya zaman bergantung pada manusia. Maka, segala gerak perkembangan dan kemajuan dunia atau kemunduran adalah tugas manusia!
tulisan ini keren sekaliii 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Terimakasih, Indri. Oh, iya, sekali lagi selamat untukmu, ya. Wisudahmu itu. Selamat! 🙂
SukaSuka
Terima kasih Kak, 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Ping balik: .:: Faisal Badri ::. » Membaca Zaman; Manusia dua dimensi